Sidang Kode Etik Jeneponto Dinilai Janggal, Jupe: Polri Jangan Lukai Korban Dua Kali

MAKASSAR – Penanganan kasus yang menjerat FTN semakin menimbulkan tanda tanya besar. Sidang Kode Etik Polres Jeneponto yang dipimpin Wakapolres, pada hari Kamis (4/9/25) dan hari ini kamis 18 Aseptember 2025, justru melahirkan kontroversi setelah kuasa hukum dan orang tua korban dilarang masuk ke ruang sidang.

Kuasa hukum FTN dari Kantor Hukum Akhmad Rianto & Partners menilai langkah tersebut tidak hanya mencederai prinsip transparansi, tetapi juga memperkuat dugaan adanya upaya melindungi oknum aparat yang lagi bermasalah dengan dugaan Tindakan tercela yang dilakukan oleh Briptu JYC .

“Kami sudah meminta untuk tetap masuk hadir, tetapi tidak diizinkan. Alasannya karena materi sidang dianggap tidak pantas didengar. Padahal justru itu yang harus kami kawal,” tegas Andi Muhammad Syahruddin, S.H., M.H.

Menurutnya, inti sidang membahas foto SC pribadi milik Briptu JCY yang sedang melakukan Video Call Sex , oknum polisi Polres Jeneponto, yang disebut sebagai bukti video call sex (VCS) dengan FTN. Namun, JCY disebut tidak mengakui perbuatannya meski bukti digital jelas ada. ujarnya.

Kuasa hukum menilai jalannya sidang etik semakin menegaskan paradoks hukum yang dihadapi FTN. “Korban justru dijadikan tersangka, sementara aparat yang dilaporkan malah seolah dilindungi. Ini jelas melukai rasa keadilan,” tambahnya.

Pihak kuasa hukum memastikan akan membawa kasus ini ke tingkat lebih tinggi, termasuk melaporkan proses sidang etik yang dinilai janggal ke Polda Sulsel, KOMPOLNAS, KOMNAS HAM, KOMNAS PEREMPUAN serta melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menjamin perlindungan hukum bagi FTN.

Sidang yang berlangsung hari ini dengan agenda pemanggilan saksi yang dimulai pukul 13.00, pihak kuasa hukum FTN dan FTN beserta orang tuanya baru diketahui setelah berlangsung selama kurang lebih 1 (satu) jam baru diketahui bahwa sidangnya telah berjalan. sampai saat ini siding kode etik masih sementara berlangsung

Sementara itu, pemerhati sosial Jupe mengecam keras sikap tertutup Polres Jeneponto. Menurutnya, pengusiran keluarga korban dan penasihat hukum dari ruang sidang adalah preseden buruk yang menodai integritas institusi Polri.

“Sidang etik ini seharusnya terbuka agar publik tahu keseriusan Polri menindak anggotanya. Mengusir keluarga korban dan PH hanya memperkuat kecurigaan publik bahwa ada yang ditutupi,” tegas Jupe.

Ia menambahkan, kejadian ini tidak hanya mencoreng nama baik Polri, tetapi juga melukai hati keluarga korban yang tengah mencari keadilan.

“Apalagi, pelaku yang diduga terlibat adalah aparat penegak hukum. Seharusnya memberi perlindungan, bukan menambah luka. Jangan sampai Polri melukai korban dua kali: pertama oleh pelaku, kedua oleh institusinya sendiri,” pungkasnya.

Jupe juga mendesak agar kasus ini ditangani dengan serius menggunakan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), bukan sekadar etik internal. “Jika benar ada unsur kekerasan seksual, gunakan UU TPKS. Negara tidak boleh berpihak pada pelaku hanya karena statusnya aparat,” ujarnya.

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button