Ratusan DAS di Sulsel Alami Kerusakan Serius
Icraf dan pemerintah daerah komitmen lakukan penanganan

Makassar – Lebih dari seratus daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Sulawesi Selatan kini tengah mengalami kerusakan serius.
Hal ini bukan sekadar asumsi atau dugaan, melainkan fakta yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan beberapa tahun silam, dan secara resmi diadopsi dalam Peraturan Daerah Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Pemutakhiran dokumen RPDAS dimotori oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sulawesi Selatan, BPDAS, serta Forum DAS, bekerja sama dengan ICRAF Indonesia dalam riset-aksi Land4Lives yang didukung oleh pemerintah Kanada pun dilakukan.
Menyertakan lampiran Perda tersebut mengungkap bahwa puluhan DAS telah melewati batas daya dukung ekologisnya dan kini berada dalam kondisi kritis yang memerlukan pemulihan segera.
Kerusakan tersebut tidak hanya tercermin dari data biofisik, tetapi juga dari gejala-gejala lingkungan yang semakin sering terjadi. Banjir yang dulu datang musiman, kini menghantam lebih sering.
Longsor dan kekeringan menjadi ancaman tahunan, ditambah kebakaran hutan yang kian meluas. Indikator ini jelas menunjukkan bahwa kondisi DAS tidak sedang baik-baik saja.
A. Nazaruddin Kammisi, Kepala Bidang DAS dan Konservasi DLHK Sulsel, menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi mencakup perubahan tambahan lahan kritis dan degradasi vegetasi.
“Pemerintah pun telah menyusun rencana pengelolaan jangka panjang sebagai respons. Rencana ini kemudian diturunkan menjadi rencana lima tahunan dan tahunan, untuk memastikan intervensi berjalan secara sistematis,” ujarnya, Senin 26 Mei 2025.
Namun, bukan hanya kerusakan dalam provinsi yang menjadi perhatian. DAS lintas provinsi seperti Larona dan Saddang juga masuk dalam daftar prioritas nasional.
Di sisi lain, DAS Pongkeru dan Soro kini mulai menunjukkan gejala serupa dan menjadi prioritas penanganan tahun-tahun mendatang.
Selly Oktavia Hariany dari BPDAS Jeneberang-Saddang menyebut bahwa sejak tahun 2014 hingga 2024, berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) telah dilakukan melalui APBN, mulai dari penanaman vegetatif, pembangunan kebun bibit rakyat, hingga instalasi panen air hujan dan sistem resapan.
“Penanganan intensif juga difokuskan di Danau Tempe, sebagai salah satu danau prioritas nasional. Namun, tekanan terus bertambah, terutama akibat alih fungsi lahan, pemukiman baru, serta meningkatnya erosi,” paparnya.
Ketua Forum DAS Sulsel, Usman Arsyad, menekankan pentingnya memahami DAS bukan hanya sebagai wilayah biofisik, tetapi sebagai ruang hidup masyarakat.
“Sulit dikelola karena ada manusianya, bukan sekadar benda mati. Tapi di sanalah letak tantangan dan peluangnya,” ujarnya.
Ia menyoroti perlunya pendekatan yang menyentuh aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satu model yang kini mulai dikembangkan adalah agroforestri.
Andree Ekadinata, Direktur CIFOR-ICRAF Indonesia, menyebut bahwa pihaknya tengah membangun proyek “Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods” di Kabupaten Bone, Sulsel.
“Proyek ini mencoba memperkenalkan restorasi lahan dengan sistem agroforestri yang memadukan tanaman kehutanan dan pertanian untuk menjaga fungsi lindung sekaligus memberi nilai ekonomi bagi petani,” katanya.
“Pemerintah provinsi pun mulai menggulirkan kebijakan edukatif, salah satunya dengan mendorong siswa sekolah dasar hingga SMA untuk menanam pohon sebagai bagian dari kontribusi nyata terhadap pemulihan lingkungan,” lanjutnya.
Program ini menjadi bagian dari solusi jangka panjang untuk mengurangi dampak kerusakan DAS secara bertahap
Namun realitasnya, krisis terus bergerak lebih cepat daripada penanganan.
Luas lahan kritis saat ini diperkirakan mencapai 122.000 hektare, atau sekitar 22% dari total wilayah. Setiap tetes air hujan yang tidak meresap ke tanah adalah potensi banjir di masa depan.
“Karena itulah, para ahli sepakat: satu-satunya cara untuk menjaga keberlangsungan hidup di daratan adalah dengan menjaga DAS,” pungkas Andree.**