PKBI Sulsel Dorong Swakelola Tipe III Sebagai Program Kemitraan Dengan Pemerintah Dalam Pencegahan HIV Aids

MAKASSAR – Dalam upaya memperkuat respon penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia, khususnya di Kota Makassar, sejumlah organisasi seperti Indonesia AIDS Coalition, PKBI Sulawesi Selatan, dan Yayasan Kerti Praja (YKP) menginisiasi forum diskusi yang mendorong pemanfaatan mekanisme swakelola tipe III sebagai pendekatan strategis dalam membangun kolaborasi antara Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan pemerintah daerah. Kegiatan ini diadakan di Cafe Agung Makassar, selasa(05/08/2025).
Swakelola tipe III dinilai memiliki potensi besar untuk memberdayakan peran OMS dalam pengelolaan program penanggulangan HIV-AIDS secara efektif dan berkelanjutan. Namun, implementasi mekanisme ini memerlukan perhatian serius terhadap sejumlah aspek penting, seperti kejelasan regulasi dan prosedur pengadaan, penguatan kapasitas manajemen keuangan dan program OMS, pembangunan kemitraan yang setara, serta sistem koordinasi, monitoring, dan evaluasi yang partisipatif dan transparan.
Ketua PKBI Sulawesi Selatan, Iskandar Harun, dalam sambutannya menegaskan pentingnya penguatan kemitraan antara pemerintah dan OMS dalam menangani isu HIV-AIDS.
“Swakelola tipe III bukan sekadar mekanisme anggaran, tetapi bentuk pengakuan terhadap kerja-kerja komunitas. PKBI Sulsel dan organisasi masyarakat lainnya sudah lama berada di garis depan dalam penjangkauan dan edukasi populasi kunci. Kini saatnya kolaborasi diperkuat secara struktural dan berkelanjutan,” ujarnya.
Data Terkini HIV-AIDS Tahun 2025, berdasarkan dari data Kementerian Kesehatan RI dan pelaporan provinsi :
Secara nasional, terdapat 564.000 orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) hingga pertengahan 2025.
Dari jumlah itu, baru sekitar 63% mengetahui statusnya, 67% menjalani terapi ARV, dan hanya 55% yang mencapai viral load tersupresi.
Provinsi Sulawesi Selatan mencatat peningkatan signifikan :
1.636 kasus baru HIV/AIDS hingga September 2024. Kasus didominasi oleh seks berisiko sesama jenis (LSL) sekitar 40–45% dan pekerja seks komersial (WPS) sekitar 39%.
Kota Makassar menjadi penyumbang terbesar dengan 702 kasus, diikuti Gowa, Palopo, dan Bone. Total kumulatif ODHA Sulsel mencapai 23.715 orang.
Faktor-Faktor yang Mendorong Prostitusi dan Penularan HIV :
A. Faktor Terjadinya Prostitusi:
1. Kemiskinan dan tekanan ekonomi – menjadi penyebab utama perempuan dan remaja terjerumus dalam praktik seks komersial.
2. Pendidikan rendah dan minim keterampilan kerja, membuat sebagian memilih jalan pintas.
3. Keluarga yang bermasalah, seperti kekerasan rumah tangga atau broken home.
4. Pengaruh lingkungan sosial dan budaya permisif.
5. Gaya hidup konsumtif, dorongan kebutuhan materi dan hiburan.
6. Eksploitasi dan perdagangan orang (trafficking) di bawah tekanan mucikari.
B. Faktor Penularan HIV terkait prostitusi :
Hubungan seks tanpa kondom, terutama pada pekerja seks dan pelanggannya.
Minimnya edukasi seksual dan kesadaran tentang HIV.
Penggunaan narkoba suntik, yang juga menyebarkan virus lewat jarum bersama.
Stigma dan diskriminasi, membuat ODHIV enggan periksa atau berobat.
Keterbatasan akses layanan kesehatan yang ramah populasi kunci.
Tujuan dari kegiatan ini :
1. Meningkatkan pemahaman masyarakat dan OPD tentang pentingnya swakelola tipe III sebagai solusi kolaboratif antara OMS dan pemerintah.
2. Menguatkan komitmen lintas sektor untuk mendorong kontrak sosial dalam perencanaan program HIV-AIDS di Kota Makassar dan sekitarnya.
Peserta Kegiatan
Hadir dalam kegiatan ini berbagai unsur pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan media, antara lain :
Dinas Kesehatan Kota Makassar
Dinas Sosial Kota Makassar
Dinas Pendidikan Kota Makassar
BAPPEDA Kota Makassar
Yayasan Gaya Celebes (YGC)
ADINKES Sulsel
Yayasan Mitra Husada
PKBI Sulawesi Selatan, dan Beberapa Media Cetak Dan Online
Koordinator SSR PKBI, Advocacy Officer, Paralegal Officer, Technical Officer
Kegiatan ini menjadi tonggak penting dalam mendorong transparansi, efektivitas, dan keberlanjutan program penanggulangan HIV-AIDS melalui pendekatan kolaboratif. Swakelola tipe III diharapkan menjadi jalan baru untuk menghadirkan kebijakan yang lebih berpihak kepada komunitas terdampak dan mempercepat pencapaian target eliminasi HIV-AIDS di Indonesia.
Forum ini menjadi momentum penting untuk menagih komitmen nyata pemerintah dalam melibatkan komunitas, tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan. Swakelola tipe III bukan hadiah — ia adalah hak partisipasi dalam demokrasi anggaran.
“Harapan utama dari kegiatan ini adalah munculnya keberanian politik dari pemerintah daerah untuk secara terbuka mengalokasikan anggaran melalui mekanisme swakelola tipe III kepada organisasi masyarakat sipil atau NGO.
Ini bukan sekadar soal dana, tapi tentang membangun kepercayaan dan kemitraan setara demi mempercepat penanggulangan HIV-AIDS yang lebih inklusif dan efektif.