Pandangan DR.Hardianto Djanggih Kasus Fatmawati Ini Jelas Kriminalisasi 

MAKASSAR – Pada aksi unjuk rasa di depan Gedung Kejati Sulsel, Jalan Urip Soemoharjo Km.4, No.244, yang dilakukan oleh koalisi rakyat menuntut keadilan salah satu kasus yang menjadi perhatian massa aksi adalah diduga adanya rekayasa kasus Fatmawati, senin(20/10/2025).

Delandi korlap aksi ini saat wawancara secara eksklusif mengatakan kasus Fatmawati yang dilaporkan oleh Hj. Subaedah di Polda Sulsel dengan Pasal 378 KUHPidana dan Pasal 372 KUHPidana dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/ 535 / VI / 2025 / SPKT POLDA SULSEL, tanggal 11 Juni 2025 syarat akan rekayasa.

oplus_0

Selanjutnya Delandi menceritakan awal kejadiannya yang dimana Fatmawati meminjam uang sebesar Rp 150 000 000-(seratus limapuluh juta rupiah) kepada Hj. Subaedah dengan bunga Rp 50 000 000-(lima puliuh juta rupiah) sehingga total utang pokok dan bunganya adalah Rp.200 000 000- (dua ratus juta rupiah) dengan jaminan Sertifikat Hak Milik SHM yang kemudian dibuatikan Akte Pengakuan Utang No 14 tanggal 28 September 2016 di hadapan notaris A. Dian Christianti SH.

“Perkara utang-piutang antara lbu Fatmawati dengan Hj. Subaedah yang secara norma hukum masuk dalam perkara perdata sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1754 KUHPerdata terkait Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjan yang menentukar pihak pertama menyerahkan sejumian barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama, kemudian diperkuat dengan Pasal 19 ayat (2) UU HAM terkait Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi sualu kewajiban dalam perjanjian utang piutang,” tegasnya.

oplus_0

Tambah Delandi norma diatas sudah jelas dan terang menderang bahwa perkara utang piutang tidak boleh dimasukkan kedalam perkara pidana melainkan adalah perkara perdata, tetapi itu berbading terbalik dengan apa yang lakukan oleh oknum aparat Kepolisian Polda Sulsel dan oknum aparat Kejaksaan Tinggi Sulsel dalam hal ini adalah jaksa penuntut umum yang menangani perkara Fatmawati.

“Dalam proses penanganan oknum aparat dari Kepolisian Polda Sulsel Instansi penyidik dan atau Kejaksaan tinggi Sulsel selaku sebagai jaksa penuntut umum diduga melakukan pemaksaan agar perkara tersebut dialihkan menjadi tindak pidana padahal tidak memenuhi unsur pidana secara proporsiona-termasuk tanpa kejelasan motif bukti atau korelasi yang wajar dengan unsur pidana,” ucapnya.

Sementara Dr. Hardianto Djanggih, SH, MH (Dosen Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia) Ahli Hukum Pidana memberikan tanggapannya terhadap Kasus Fatmawati dengan Nomer LP/B/535/VI/2025/SPKT POLDA SULSEL, kasus Fatmawati yang dilaporkan oleh Hj. Subaedah ke Polda Sulsel dengan dugaan Pasal 372 dan 378 KUHP sejatinya merupakan sengketa utang-piutang perdata yang keliru dikriminalisasi.

“Berdasarkan Akta Pengakuan Utang Nomor 14 tanggal 28 September 2016 yang dibuat di hadapan notaris, hubungan antara keduanya lahir dari perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, bukan dari perbuatan melawan hukum pidana. Oleh karena itu, penerapan delik penipuan atau penggelapan tidak memenuhi unsur mens rea maupun actus reus sebagaimana disyaratkan dalam KUHP,” pungkasnya.

Tambah Hardianto Djanggih unsur Pasal 378 KUHP menghendaki adanya niat jahat untuk menguntungkan diri sendiri dengan tipu muslihat sejak awal, sedangkan Pasal 372 KUHP menuntut adanya penguasaan barang milik orang lain secara melawan hukum.

“Dalam perkara ini, uang dipinjam secara sah atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan disertai jaminan sertifikat tanah, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Kegagalan debitur membayar utang hanyalah bentuk wanprestasi, bukan tindak pidana,” jelasnya.

Lebih lanjut lagi Hardianto Djanggih menjelaskan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa seseorang tidak boleh dipidana penjara karena ketidakmampuan memenuhi kewajiban perjanjian utang-piutang. Prinsip ini sejalan dengan asas non-criminalization of civil default dan ultimum remedium, yang menempatkan hukum pidana sebagai sarana terakhir.

“Dengan demikian, upaya pelaporan pidana terhadap Fatmawati bertentangan dengan asas proporsionalitas dan prinsip keadilan. Artinya, kriminalisasi hubungan perdata merupakan bentuk penyimpangan terhadap asas due process of law dan equality before the law,” ucapnya.

Tambahnya lagi apabila benar terdapat pemaksaan atau rekayasa hukum oleh aparat penegak hukum untuk mengubah perkara perdata menjadi pidana, maka tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara. Penegak hukum wajib menjunjung asas objektivitas, profesionalitas, dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.

“Dengan demikian,  kasus ini seyogianya diselesaikan melalui mekanisme perdata, baik dengan gugatan wanprestasi maupun eksekusi jaminan, bukan melalui jalur pidana. Pemaksaan kriminalisasi justru melanggar hak asasi manusia dan menciptakan criminalization of poverty, yang bertentangan dengan cita keadilan substantif dan prinsip negara hukum (rechtsstaat),” tutupnya.

Pesan Presiden Prabowo Subianto di Gedung Kejaksaan Agung RI pada saat memamerkan uang hasil sitaan oleh Kejagung RI yang mengatakan untuk para aparat penegak hukum untuk tidak mencari-cari masalah yang tidak perlu dikriminalisasikan atas dasar apapun, apalagi menyangkut rakyat kecil

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button