Merawat Relasi Manusia dan Alam: Sintesis Ekoteologi Toraja dan Kajang untuk Indonesia

Oleh: Dr. Qudratullah, M.Sos., M.Pd

Dosen Institut Agama Islam Negeri Bone

Ekoteologi dalam masyarakat Kajang dan Toraja merupakan wujud kearifan ekologis yang telah hidup jauh sebelum konsep-konsep modern tentang keberlanjutan dan lingkungan mendapatkan tempat dalam wacana ilmiah global. Di Sulawesi Selatan, dua komunitas adat ini menjadi simbol penting bagaimana manusia menjaga hubungan dengan alam melalui fondasi spiritual, simbolik, dan budaya. Ekoteologi tidak hanya dipahami sebagai relasi teologis antara manusia dan lingkungannya, tetapi juga sebagai praktik sosial yang terbentuk melalui komunikasi budaya yang diwariskan lintas generasi. Masyarakat Kajang Ammatoa dan masyarakat Toraja menghadirkan praktik ekoteologi yang bukan semata-mata sistem kepercayaan, tetapi juga regulasi ekologis yang efektif dan menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan.

Bagi masyarakat Kajang, Pasang ri Kajang merupakan landasan moral dan ekologis yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Pasang dipandang sebagai pesan suci yang diturunkan untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Turie’ A’ra’na (Sang Pencipta). Pasang ri Kajang berfungsi sebagai “konstitusi ekologis” yang melarang eksploitasi berlebihan dan menekankan hidup kamase-masea atau kesederhanaan (Zuhdi, 2015). Dalam budaya Kajang, kesederhanaan bukanlah penolakan terhadap perkembangan, tetapi manifestasi dari kesadaran ekologis bahwa manusia tidak boleh mengambil dari alam lebih dari yang dibutuhkannya. Hutan adat Kajang, yang dijaga ketat melalui aturan adat adalah hasil dari praktik ekoteologi yang bertahan ratusan tahun. Kehadiran hutan tersebut menunjukkan efektivitas sistem lokal yang mengedepankan relasi spiritual dengan alam ketimbang pendekatan legalistik modern (Li, 2014).

Dalam perspektif komunikasi budaya, keberlanjutan tradisi ekologis Kajang tidak terlepas dari pola komunikasi ritual, simbolik, dan interpersonal yang dijaga dengan ketat oleh Ammatoa sebagai figur sentral. Komunikasi budaya dalam masyarakat Kajang bersifat hirarkis, namun kohesif, di mana nilai-nilai adat ditransmisikan melalui tuturan lisan yang dianggap sakral. Hal ini sejalan dengan konsep Geertz tentang budaya sebagai sistem makna (Geertz, 1973), di mana praktik simbolik seperti pakaian hitam, larangan menggunakan teknologi tertentu, dan ritual hutan menjadi media komunikasi yang memperkuat identitas ekologis mereka. Simbol-simbol ini tidak hanya menandai perbedaan sosial, tetapi juga membangun kerangka komunikasi yang menciptakan pemahaman kolektif bahwa alam adalah entitas sakral yang harus dijaga secara komunal. Karena itu, ekoteologi Kajang bukan hanya keyakinan, tetapi juga hasil proses komunikasi budaya yang terus diperkuat dari generasi ke generasi.

Jika masyarakat Kajang mengekspresikan hubungan teologis dengan alam melalui kesederhanaan dan keheningan, masyarakat Toraja menghadirkannya melalui simbolisme, ritus besar, dan penataan ruang kosmologis yang kompleks. Kepercayaan Aluk To Dolo, “jalan kehidupan dan kematian”, menempatkan alam sebagai bagian dari struktur kosmos yang terdiri atas dunia atas (langi’), dunia tengah (lino), dan dunia bawah (kolong). Menurut Bigalke (2005), pembagian kosmos ini bukan saja sebuah sistem religius, tetapi juga panduan ekologis yang mengatur bagaimana manusia menggunakan ruang, tanah, dan sumber daya. Rumah adat Tongkonan dibangun dengan orientasi tertentu, bukan semata-mata untuk fungsi arsitektural, tetapi untuk menjaga harmoni kosmos yang juga berimplikasi ekologis.

Ritual-ritual dalam budaya dan kepercayaan Toraja, seperti Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’, sering dilihat sebagai ekspresi budaya spektakuler, tetapi di baliknya terdapat mekanisme sosial-ekologis yang sangat kuat. Acciaioli (2009) menjelaskan bahwa ritual tersebut mengatur pembagian sumber daya, distribusi kerja, hingga pemeliharaan hewan ternak seperti kerbau yang memiliki fungsi ekologis dan simbolis. Kerbau bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi simbol hubungan antara manusia, leluhur, dan alam. Cara masyarakat mengelola kerbau, ladang, serta tanah pemakaman di batu menunjukkan betapa ekoteologi Toraja tidak terlepas dari struktur komunikatif berbasis simbol. Komunikasi budaya dalam masyarakat Toraja berlangsung melalui ritus yang melibatkan banyak pihak, narasi lisan tentang leluhur, dan simbol visual seperti ukiran pa’ssura. Dalam kerangka komunikasi budaya, ritus-ritus ini berfungsi sebagai arena negosiasi makna yang memperkuat pemahaman bahwa alam adalah bagian integral dari tatanan moral dan spiritual.

Baik dalam budaya Kajang maupun Toraja, alam tidak pernah dipandang sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai mitra kosmik yang harus dijaga. Nilai-nilai ini diwariskan melalui komunikasi budaya yang berlangsung secara konsisten, baik melalui ritual, narasi leluhur, maupun simbol-simbol yang hidup dalam keseharian masyarakat. Di sinilah letak titik persinggungan antara ekoteologi dan komunikasi budaya: keduanya membentuk struktur makna yang menyatukan masyarakat dan alam dalam hubungan sakral. Dalam kerangka tersebut, kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap dua sistem ekoteologi ini tidak hanya berdasar pada keunikan budaya, tetapi juga pada nilai universal yang terkandung dalam ajaran mereka, bahwa keberlanjutan ekologis tidak mungkin berlangsung tanpa keberlanjutan makna dan komunikasi budaya.

Kebanggaan ini semakin kuat karena keberadaan masyarakat adat Kajang dan Toraja menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan memiliki tradisi ekologis yang telah lama berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan. Dalam masa ketika dunia mengalami kerusakan ekologis akibat industrialisasi dan konsumerisme, nilai-nilai lokal ini menjadi relevan sebagai model alternatif. Tsing (2005) bahkan menegaskan bahwa praktik-praktik lokal seperti yang dijumpai di Sulawesi dapat menjadi sumber belajar bagi dunia, terutama dalam memahami bentuk-bentuk kelestarian yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori barat semata. Dengan demikian, ekoteologi di Sulawesi Selatan bukan hanya warisan etnis tertentu, tetapi aset pengetahuan global yang perlu dilestarikan.

Namun demikian, modernisasi dan tekanan globalisasi menghadirkan tantangan besar. Dalam masyarakat Kajang, arus pariwisata dan modernisasi seringkali menggoda generasi muda untuk mengabaikan tradisi. Di Toraja, komersialisasi ritual terutama Rambu Solo’, kadang memunculkan kekhawatiran bahwa nilai ekologis dan spiritual akan digantikan nilai ekonomi. Dalam konteks ini, komunikasi budaya memainkan peran sangat penting dalam memastikan bahwa nilai-nilai ekologis tidak sekadar dipertahankan secara simbolis, tetapi terus dimaknai secara substantif. Proses komunikasi yang adaptif namun tetap berakar pada tradisi dapat menjadi jembatan antara nilai leluhur dan realitas kontemporer.

Pada akhirnya, ekoteologi Kajang dan Toraja adalah bukti bahwa masyarakat lokal di Sulawesi Selatan memiliki sistem nilai yang mampu menjaga lingkungan sekaligus memperkuat harmoni sosial. Tradisi ini bukan sekadar kebanggaan etnografis, tetapi warisan pengetahuan ekologis dan spiritual yang relevan untuk menjawab tantangan global masa kini. Ketika dunia modern mencari cara untuk berdamai dengan alam, masyarakat Sulsel dapat menunjukkan bahwa mereka telah lama hidup dalam harmoni tersebut melalui ajaran leluhur yang dijaga dengan penuh kesadaran. Ekoteologi Kajang dan Toraja bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga cahaya yang menuntun masa depan keberlanjutan ekologis, budaya, dan identitas kolektif masyarakat Sulawesi Selatan.

Komunitas Adat Menjaga Lingkungan dengan Etika, Kepercayaan, dan Budaya

Dalam menghadapi krisis ekologis yang kian mengancam, kita sering menaruh seluruh harapan pada kebijakan, aturan, dan teknologi. Kita percaya bahwa semakin banyak peraturan dibuat, semakin besar pula peluang kita menyelamatkan alam. Namun kenyataannya, kerusakan lingkungan terus terjadi meski regulasi telah diperkuat. Di sinilah kita harus jujur mengakui bahwa kebijakan saja tidak cukup. Ada sesuatu yang lebih mendasar yang selama ini terabaikan: etika, kepercayaan, dan budaya yang mengikat manusia dengan alam.

Di banyak komunitas adat Nusantara, hubungan dengan lingkungan hidup bukan sekadar persoalan pemanfaatan sumber daya, tetapi perihal kehormatan, spiritualitas, dan kewajiban moral. Alam bukan objek yang bisa dieksploitasi sesuka hati, tetapi saudara yang hidup, ruang suci yang dihuni oleh roh-roh leluhur, dan titipan yang harus dijaga untuk generasi berikutnya. Dalam cara pandang semacam ini, penjagaan lingkungan tidak bergantung pada ancaman sanksi, melainkan pada kesadaran batin. Orang tidak merusak hutan karena ia percaya bahwa hutan adalah bagian dari dirinya; ia tidak mencemari sungai karena sungai adalah sumber kehidupan yang dihormati, bukan barang yang bisa dipakai lalu dibuang.

Sebaliknya, ketika nilai-nilai budaya dan kepercayaan ini hilang, aturan hukum yang paling keras sekalipun tidak akan mampu menghentikan kerusakan. Banyak kebijakan lingkungan gagal karena tidak menyentuh akar persoalan, yaitu kesadaran moral masyarakat. Undang-undang dapat mengatur perilaku, tetapi tidak dapat menyentuh nurani. Ia dapat memaksa dari luar, tetapi tidak dapat menggugah rasa hormat dari dalam diri. Tanpa etika ekologis, hukum hanyalah tulisan di atas kertas yang mudah dibengkokkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Kisah dari berbagai komunitas adat, termasuk Toraja dengan prinsip tallu lolona dan masyarakat Kajang dengan pasang ri Kajang, menunjukkan bahwa budaya dan kepercayaan mampu menjaga alam secara lebih konsisten daripada hukum yang bersifat formal. Mereka hidup tanpa dokumen hukum yang tebal, tetapi memiliki ikatan moral yang kuat. Pengawasan ketat tidak dibutuhkan karena aturan hidup mereka bertumpu pada keyakinan bahwa manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya saling terkait dalam keseimbangan kosmis. Kerusakan alam dalam pandangan mereka bukan sekadar pelanggaran aturan, tetapi pelanggaran terhadap harmoni kehidupan itu sendiri.

Maka jika ingin memperbaiki kerusakan lingkungan, tidak boleh hanya mengandalkan kebijakan. Peraturan penting, tetapi harus bersandar pada nilai-nilai etis dan kearifan budaya yang memandu masyarakat untuk patuh bukan karena takut dihukum, melainkan karena merasa bertanggung jawab. Pemerintah perlu melihat budaya lokal bukan sebagai pelengkap seremonial, tetapi sebagai fondasi moral yang dapat memberi jiwa pada setiap kebijakan lingkungan. Tanpa itu, hukum akan selalu kalah oleh kepentingan dan ketamakan.

Krisis ekologis yang kita hadapi hari ini sesungguhnya bukan hanya masalah teknis, melainkan persoalan karakter manusia. Selama manusia kehilangan rasa hormat terhadap alam, selama mereka melihat lingkungan hanya sebagai sumber keuntungan, kerusakan akan terus terjadi meski kebijakan diperbarui setiap tahun. Alam hanya dapat diselamatkan oleh masyarakat yang memiliki etika, kepercayaan, dan budaya yang memuliakannya. Aturan bisa membantu, tetapi nurani dan kebijaksanaan leluhur yang menjaga.

Melawan Krisis Permasalahan Krisis Ekologis

Jika ingin keluar dari lingkaran krisis ekologis yang tak kunjung berakhir, maka solusi yang perlu dibangun bukan hanya bersifat teknokratis, tetapi juga menyentuh kesadaran manusia. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghidupkan kembali nilai-nilai budaya dan spiritual yang selama ini menjadi penjaga alam di banyak komunitas Nusantara. Pendidikan lingkungan tidak cukup sebatas mengenalkan data dan grafik kerusakan, tetapi harus melibatkan cara pandang yang menempatkan alam sebagai bagian dari identitas manusia. Ketika nilai etis dan spiritual ini dipulihkan, tidak hanya mencetak individu yang paham lingkungan, tetapi pribadi yang merasa terikat untuk menjaganya.

Di sisi lain, kebijakan yang dibuat pemerintah harus membuka ruang yang lebih luas bagi peran masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka yang selama ratusan tahun hidup selaras dengan alam bukan hanya memiliki pengetahuan ekologis yang bernilai, tetapi juga sistem kepercayaan yang terbukti menjaga lingkungan tanpa harus diawasi. Menempatkan mereka sebagai mitra utama dalam perencanaan tata ruang, perlindungan hutan, dan pengelolaan sumber daya akan membuat kebijakan lebih membumi dan lebih dihormati. Melalui hal ini, hukum bukan lagi sesuatu yang dipaksakan dari luar, tetapi dijalankan dengan kesadaran bersama.

Solusi lain yang tak kalah penting adalah menciptakan ruang dialog antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan lokal. Kita tidak bisa menolak teknologi, tetapi teknologi yang tidak berakar pada nilai-nilai budaya akan berpotensi merusak. Sebaliknya, kearifan lokal yang tidak diperbarui dengan wawasan ilmiah bisa tersisih oleh perubahan zaman. Harmoni antara keduanya akan melahirkan cara baru mengelola alam: modern tetapi tetap beretika, berkembang tetapi tetap menghormati kehidupan.

Oleh karena itu, perubahan terbesar harus datang dari perubahan cara manusia memaknai alam itu sendiri. Selama bumi masih dianggap sebagai objek ekonomi, selama hutan dipandang sebagai laba dan bukit sebagai peluang investasi, maka solusi teknis tidak akan pernah cukup. Perlu menanamkan kembali keyakinan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari menjaga kehidupan. Ketika manusia memandang alam dengan hormat, ketika menyadari bahwa nasibnya terikat dengan nasib bumi, maka aturan apa pun akan lebih mudah dijalankan karena dilandasi kesadaran, bukan ketakutan. Inilah solusi yang paling sederhana sekaligus paling sulit dalam membangun kembali hubungan batin antara manusia dan alam. Tanpa itu, kebijakan hanya menjadi suara yang hilang ditelan kepentingan. Masyarakat memiliki alasan untuk menjaga bumi, bahkan ketika tidak ada yang sedang mengawasi.