MAKASSAR — Insiden penghalang-halangan kerja jurnalistik kembali terjadi di Kota Makassar. Sejumlah wartawan yang sedang meliput mediasi aksi buruh TK Bagasi di Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Makassar justru dilarang masuk untuk meliput proses dialog resmi antara serikat buruh dan pihak KSOP, rabu(10/12/2025).
Peliputan tersebut atas undangan dari Partai Buruh bersama sejumlah serikat pekerja, termasuk Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI), yang datang untuk menindaklanjuti persoalan penghapusan jabatan Kepala Unit di internal TK Bagasi.
Namun, saat awak media hendak memasuki ruang pertemuan, pejabat KSOP, Musafir, selaku Kasu Patroli II KSOP Makassar, secara tegas meminta wartawan agar keluar dari area pertemuan dengan alasan pertemuan “bersifat tertutup”.
“Ini pertemuan tertutup. Hanya untuk pihak yang berkepentingan langsung, seperti serikat buruh. Mohon media keluar,” ujar Musafir di depan para jurnalis.
Para wartawan menyatakan keberatan karena mereka datang bersama rombongan aksi atas undangan partai buruh exco makassar untuk melakukan peliputan resmi.
Para jurnalis menilai tindakan KSOP sebagai bentuk diskriminasi serta penghalangan terhadap tugas jurnalistik, terlebih karena isu yang diangkat buruh merupakan persoalan publik.
“Kami datang sebagai bagian dari rombongan aksi untuk meliput. Melarang kami masuk adalah bentuk pembungkaman terhadap kerja jurnalistik, ”kata sahrul dari fatihmedianusantara.com yang juga ditolak masuk.
Insiden ini terjadi pada momen Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, sehingga menambah sorotan publik terhadap praktik-praktik anti-transparansi yang masih terjadi di institusi pemerintah.
Tindakan KSOP Makassar berpotensi melanggar sejumlah regulasi penting, di antaranya:
1. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 4 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan pers.
Pasal 4 ayat (3): Pers berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi publik.
Pasal 18 ayat (1): “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”
Artinya, tindakan pelarangan tanpa alasan hukum yang kuat dapat berpotensi masuk kategori penghalang-halangan kerja jurnalistik dan dapat dikenai sanksi pidana.
2. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
Menjamin hak masyarakat untuk mengetahui proses pengambilan keputusan publik, termasuk dialog resmi antara lembaga negara dan kelompok buruh.
3. Permenhub No. PM 34 Tahun 2012
Mengatur fungsi KSOP yang wajib menjalankan pelayanan dan pengawasan secara transparan, bukan dengan menutup akses media dalam persoalan publik.
Dengan tidak adanya dasar hukum kuat untuk menutup akses peliputan—seperti alasan keamanan negara atau rahasia strategis, pembatasan yang dilakukan KSOP dinilai tidak berdasar.
Larangan ini menimbulkan persepsi bahwa KSOP, tidak transparan dalam menangani aduan buruh, menutupi proses dialog publik, menghindari pengawasan media, dan berpotensi menyalahgunakan kewenangan.
Serikat buruh menilai tindakan ini semakin menguatkan dugaan bahwa KSOP tidak serius mengakomodasi aspirasi pekerja TK Bagasi.
Aktivis media, organisasi pers, dan kelompok buruh kini mendorong, klarifikasi resmi dari KSOP Makassar, evaluasi terhadap Musafir, Kasi II Lala KSOP Makassar, serta penjaminan agar insiden penghalang-halangan peliputan tidak kembali terulang pada agenda-agenda publik di institusi pelabuhan.
Hingga saat ini (11/12/25), belum ada pernyataan resmi dari pihak KSOP Makassar Utama terkait pelarang peliputan oleh awak media pada mediasi buruh TK Bagasi, Rabu, 11 Desember 2025. (Restu)


Tinggalkan Balasan