MAKASSAR – Keuskupan Agung Makassar (KAMS) kembali menegaskan keberpihakannya pada nilai inklusi dan kesetaraan dengan menggelar Peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) untuk ketiga kalinya.

 

Di bawah kepemimpinan Uskup Agung Makassar, Mgr Fransiskus Nipa, perayaan yang berlangsung di Aula Keuskupan Agung Makassar ini mengusung tema universal “Inklusi, Kesetaraan, dan Martabat Bagi Semua”.

 

Lebih dari sekadar seremoni tahunan, peringatan ini menjadi ruang perjumpaan, refleksi, dan komitmen bersama untuk merangkul serta berjalan berdampingan dengan saudara-saudari difabel dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat.

 

Rangkaian kegiatan diawali dengan Misa Kudus khusus bagi umat Katolik difabel yang dipimpin Pastor Andreas Rusdyn Ugiwan bersama Pastor Bernard Cakra Arungraya.

 

Suasana khidmat Misa kemudian berlanjut dalam nuansa penuh kehangatan melalui pentas seni dan talkshow lintas iman yang menghadirkan berbagai narasumber dari latar belakang berbeda, sebagai wujud nyata penghormatan terhadap martabat setiap pribadi.

 

Salah satu narasumber, Ni Nyoman Anna Marthanti dari Persatuan Orangtua Anak Autistik Makassar, berbagi pengalaman dalam membangun pemahaman Gereja dan masyarakat terkait disabilitas.

 

Ia menyoroti tantangan yang masih dihadapi, khususnya kurangnya dukungan keluarga yang kerap menutupi kondisi anak.

“Keluarga harus berani memperjuangkan pemenuhan hak-hak anaknya, termasuk hak beribadah dengan aman dan nyaman sebagaimana yang telah dilakukan Gereja Katolik melalui Misa Khusus Disabilitas. Imago Dei berarti Tuhan menciptakan manusia seturut rupa-Nya, maka tidak ada manusia yang kurang di mata-Nya,” ungkapnya.

 

Narasumber berikutnya, Nabila Maysita, difabel netra, akademisi, sekaligus Tim Ahli Pemkot Makassar, mengajak peserta merayakan kemampuan dan martabat difabel di ruang publik. Ia berbagi kisah perjuangannya sejak duduk di bangku SMP hingga mampu bangkit dan berdaya.

“Tidak ada yang akan membantu selain diri sendiri yang ingin berdaya. Dunia tidak akan berubah jika sebagai difabel hanya diam dan mengutuki nasib. Kita harus bangkit,” tegasnya.

 

Talkshow yang dipandu Pastor Rusdyn ini juga menghadirkan Magfirah, seorang difabel tuli, yang berbagi pengalaman advokasinya tentang pentingnya pelibatan orangtua dalam mendampingi anak Tuli.

 

Demi memastikan aksesibilitas, panitia menghadirkan dua Juru Bahasa Isyarat yang mendampingi jalannya Misa dan diskusi.

 

Sebagai bagian dari edukasi publik tentang ragam disabilitas, panitia mengundang berbagai Organisasi Penyandang Disabilitas di Kota Makassar serta mengajak masyarakat umum mengikuti kegiatan desensitisasi.

 

Melalui aktivitas ini, peserta diajak merasakan langsung tantangan yang dihadapi difabel, mulai dari bermain catur netra, membaca huruf braille, belajar bahasa isyarat, berjalan dengan mata tertutup di guiding block, hingga mencoba kursi roda di jalanan yang tidak ramah akses.

 

Suasana perayaan semakin semarak dengan penampilan seni dari anak-anak disabilitas SLB Rajawali yang membawakan tarian dan nyanyian.

 

Momen haru tercipta saat penyerahan lukisan Mgr Fransiskus Nipa oleh Neyda Angela, serta penampilan tarian daerah dari anak-anak Komunitas Orangtua dengan Anak Down Syndrome.

 

Dalam sambutannya, Mgr Fransiskus Nipa berharap semakin banyak keluarga yang terbuka mengajak anak dengan disabilitas untuk terlibat aktif dalam kehidupan beriman.

“Umat diharapkan semakin membuka diri dan menghilangkan stigma terhadap disabilitas, sehingga kita semua bisa saling menghormati, memahami, dan saling menguatkan,” pesannya. Ia menekankan bahwa inklusi adalah proses penting untuk saling belajar, mendengar, mendukung, serta memastikan setiap pribadi setara dan bermartabat.

 

Kehadiran Gereja, komunitas penyandang disabilitas, serta umat lintas iman dalam perayaan ini diharapkan terus membuka ruang dialog, pengharapan, dan kasih yang lebih luas bagi saudara-saudari difabel di tengah masyarakat.