Kasus Perampasan Anak, Polrestabes Makassar dan Peran DP3A Jadi Sorotan Keras

MAKASSAR – Task Force PBH Peradi Makassar menyoroti penanganan dugaan perampasan anak yang dilaporkan Sdri. Tanty Rudjianto ke Polrestabes Makassar. Laporan polisi Nomor LP/B/410/III/2024 telah berjalan lebih dari 20 bulan tanpa kepastian hukum, menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi, profesionalitas, dan akuntabilitas penyidik, jum’at(07/11/2025).
Kasus awalnya ditangani oleh Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polrestabes Makassar. Namun, setelah penyidik yang menangani perkara dipindahkan ke Unit Tahbang, seluruh berkas ikut dialihkan. Pergeseran ini diduga mengubah penerapan pasal dari tindak pidana khusus perlindungan anak (Pasal 76F jo. Pasal 83 UU No. 35 Tahun 2014) menjadi tindak pidana umum (Pasal 330 KUHP), menurunkan bobot perkara dan berpotensi merugikan hak korban dan pelapor.
SP2HP baru diterbitkan lebih dari satu tahun setelah laporan dibuat, menghambat hak pelapor untuk mengetahui perkembangan perkara (Perkap No. 6 Tahun 2019).
Gelar perkara dilakukan tiga kali, namun tidak ada peningkatan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan, menandakan lemahnya koordinasi antarunit (UU No. 2 Tahun 2002 & Perkap No. 8 Tahun 2021).
Perpindahan penyidik tanpa serah terima efektif mengakibatkan stagnasi kasus, melanggar prinsip profesionalitas, cepat, tepat, dan akurat (PP No. 2 Tahun 2003 & Kode Etik Profesi Polri).
Seharusnya, UPT DP3A Makassar menjadi leading sektor dalam kasus ini untuk melindungi anak pelapor. Namun hingga kini, belum ada upaya nyata yang dilakukan. Kasus ini juga telah dilaporkan ke UPT DP3A Makassar dengan nomor pengaduan 365/STBP/UPTD PPA-MKS/IX/2024, tetapi anak pelapor masih berada bersama terlapor.
Kuasa Hukum TR, Qanita AB., S.H., menegaskan bahwa setiap kasus anak wajib mengedepankan UU Perlindungan Anak sebagai lex specialis agar hak-hak korban tidak diabaikan. Qanita menambahkan bahwa pelapor menghadapi gugatan perdata di Pengadilan Negeri Makassar dengan Nomor Putusan 344/Pdt.G/2024/PN.Mks, yang menolak seluruh gugatan penggugat dan menghukum penggugat membayar biaya perkara. Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 131/Pdt/2025/PT.Mks kemudian menguatkan putusan PN Makassar.
Menurut Qanita, penyidik seharusnya sudah memahami kedua putusan perdata ini untuk memperkuat dalil-dalil pasal yang diterapkan, sehingga tidak terjadi salah penerapan pasal dan penyidikan dapat berjalan profesional. Ia juga berharap kasus ini dikembalikan ke Unit PPA Polrestabes Makassar, agar fokus penanganannya kembali pada perlindungan anak dan pelapor.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan penting, apakah Polrestabes Makassar telah menjalankan prinsip transparansi, profesionalitas, dan akuntabilitas yang menjadi fondasi penegakan hukum? Hingga saat ini, pelapor masih menunggu kepastian hukum yang menjadi haknya







