Dianiaya, Anak Diambil, Identitas dan Agama Diubah. Tiga Laporan Mandek, Tanty Rudjito Laporkan ke Ombudsman RI

MAKASSAR—Nasib memilukan dialami Tanty Rudjito (29), seorang ibu muda di Kota Makassar, yang menjadi korban kekerasan fisik, kehilangan hak asuh anak, serta mendapati identitas anak kandungnya diubah secara sepihak. Namun ironisnya, bukan keadilan yang ia dapatkan, melainkan sederet kekecewaan akibat mandeknya proses hukum dan dugaan kuat adanya maladministrasi penanganan perkara oleh aparat.

Tiga laporan yang diajukannya ke kepolisian sejak Januari 2024 tak satupun yang dituntaskan. Tanty pun melangkah lebih jauh: melaporkan perkara ini ke Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan, serta melakukan koordinasi langsung dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI, selasa(15/07/2025).

Tiga Laporan, Tiga Mandek: Tak Satu pun Berujung Keadilan

Berikut daftar laporan hukum yang diajukan oleh Tanty Rudjito :

1. LP/B/46/I/2024/SPKT/POLSEK TAMALATE/POLRESTABES MAKASSAR

Kasus: Kekerasan fisik

Status: P21 sejak Desember 2024, namun hingga kini belum dilimpahkan ke kejaksaan

2. STBL/110/III/2024/POLDA SULSEL/RESTABES MAKASSAR

Kasus: Dugaan perampasan anak

Status: Terhenti di tahap pemeriksaan saksi ahli pidana yang tak kunjung dilaksanakan

3. LI/106/X/RES.1.24/2024/RESKRIM – STPL/1206/X/RES.1.24/2024/RESKRIM

Kasus: Dugaan pengubahan identitas anak (agama, orang tua, dokumen kependudukan)

Status: Tanpa perkembangan berarti

Kejanggalan Lain: Kasus Anak Malah Dipindah ke Unit Tahbang

Tanty mengungkapkan kejanggalan serius: perkara perampasan anak yang semula ditangani Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polrestabes Makassar, ikut dipindahkan ke Unit Tahbang (Tahanan dan Barang Bukti) hanya karena penyidiknya dimutasi.

“Logikanya, kalau penyidik pindah, berkasnya tetap di unit yang relevan. Tapi ini justru dibawa ke unit yang tidak sesuai. Ini perkara anak, bukan barang sitaan!” tegasnya.

Petunjuk Gelar Perkara Diabaikan, Saksi Ahli Tak Juga Diperiksa

Dalam gelar perkara yang telah digelar di Polda Sulsel, penyidik disebutkan telah diberi petunjuk eksplisit untuk melakukan pemeriksaan saksi ahli pidana. Namun hingga kini, perintah tersebut diabaikan tanpa alasan jelas.

“Saya curiga, jangan-jangan mereka menunggu saya yang bayar. Kalau memang negara tidak mau biayai saksi ahli, lalu keadilan itu milik siapa?” ujar Tanty penuh kekecewaan.

Kuat dugaan, penundaan ini dilakukan karena alasan biaya atau minimnya komitmen dari penyidik, yang justru mengancam hak keadilan bagi korban dari kalangan lemah.

Dua Putusan Pengadilan Menangkan Tanty: Tapi Anaknya Belum Dikembalikan

Dalam gugatan perdata, pihak yang mengambil anak Tanty, Rudianto alias Fery, justru dua kali kalah di pengadilan. Namun hingga kini, anak tersebut tetap belum dikembalikan kepada ibu kandungnya.

1. Putusan PN Makassar No: 344/Pdt.G/2024/PN Mks (13 Februari 2025), Amar putusan: Menolak seluruh gugatan penggugat

2. Putusan PT Makassar No: 131/PDT/2025/PT MKS (8 Mei 2025), Amar putusan : Menguatkan putusan sebelumnya dari PN Makassar

“Sudah dua kali saya dimenangkan pengadilan, tapi negara tetap diam. Lalu untuk apa saya berjuang di jalur hukum?” ucap Tanty dengan nada getir.

Skandal Identitas: Nama Ibu dan Agama Anak Diubah Sepihak

Tanty menyebutkan bahwa akta lahir dan Kartu Keluarga anaknya diterbitkan ulang tanpa persetujuan dirinya sebagai ibu kandung. Nama orang tua diganti, agamanya diubah. Ia menyebut hal ini sebagai kejahatan administratif yang serius.

“Saya masih hidup, saya ibu kandungnya. Tapi dalam akta lahir, saya tidak ada. Nama saya dihapus, agama anak saya diganti. Ini kejahatan negara,” katanya sambil menunjukkan dokumen asli

Negara Tidak Boleh Lepas Tangan, Korban Jangan Dipaksa Bayar Keadilan

Tanty telah menyerahkan seluruh dokumen, termasuk SP2HP, surat gelar perkara, bukti pelaporan, dan permohonan pendampingan hukum ke Ombudsman RI dan KemenPPPA RI. Ia hanya ingin keadilan ditegakkan.

“Kalau korban harus bayar sendiri saksi ahli, antar sendiri surat, cari sendiri keadilan, lalu buat apa ada negara? Saya hanya minta anak saya kembali. Itu saja,” ujarnya tegas.

Hingga berita ini dirilis, Polrestabes Makassar, Polsek Tamalate, dan Kejaksaan Negeri Makassar belum memberikan klarifikasi resmi atas lambannya tindak lanjut proses hukum. Kasus ini akan menjadi preseden berbahaya bila dibiarkan: ketika korban kekerasan, perempuan, dan anak tak lagi mendapatkan perlindungan negara, dan hukum hanya berlaku bagi yang kuat secara ekonomi maupun jabatan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button