Majene — Badan Narkotika Nasional (BNN) Propinsi Sulawesi Barat kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, lembaga penegak hukum tersebut dituding melakukan pemerasan dan pelanggaran prosedur hukum dalam penanganan perkara Aipda Abd Kadir, yang disebut ditahan tanpa surat penangkapan dan penahanan resmi, minggu(14/12/2025).

Istri Aipda AK, Wiwi Mentari, dalam keterangan persnya (14/12/25), mengungkapkan bahwa rangkaian peristiwa bermula pada Selasa, 18 November 2025. Saat itu, ia mengantar suaminya ke Kabupaten Majene untuk menjalani pemeriksaan kesehatan ke dokter Rapiuding, mengingat AK baru saja akan berangkat ibadah haji dan mengalami keluhan kesehatan.

Saat keduanya menginap di Majene, Wiwi menerima kabar dari tetangganya bernama Cik bahwa rumah mereka di Lingkungan Kalorang, Kelurahan Lamongan Baru, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, didatangi dan dikepung petugas BNN.

Meski rumah dalam keadaan kosong, berdasarkan keterangan warga, petugas BNNP tetap masuk ke dalam rumah tanpa izin.

Keterangan tersebut diperkuat oleh Kepala Dusun Kalorang Barat, Naharuddin, dalam leterangannya kepada awak media (14/12/25) yang menjadi saksi kunci penggeledahan tersebut. Naharuddin menegaskan bahwa pemilik rumah tidak berada di lokasi dan tidak pernah memberikan izin kepada siapa pun untuk masuk ke rumah itu.

“Pemilik rumah tidak ada saat kejadian. Saya juga tidak menyuruh siapa pun masuk ke rumah itu,” ujar Naharuddin.

Ia menegaskan bahwa tidak ada surat tugas maupun surat penggeledahan yang diperlihatkan oleh petugas BNNP Sulbar.

“Saya tidak melihat dan tidak diperlihatkan surat tugas ataupun surat penggeledahan,” tegasnya.

Menurut Naharuddin, petugas BNN masuk ke dalam rumah melalui jendela samping sebelah kiri karena pintu depan tidak dapat dibuka. Penggeledahan berlangsung sekitar lima hingga sepuluh menit, namun tidak ada penjelasan terkait hasil atau barang bukti yang ditemukan.

Keesokan harinya, Rabu, 19 November 2025, Wiwi Mentari bersama suaminya mendatangi kantor BNNP Sulawesi Barat untuk menanyakan alasan penggeledahan tersebut. Namun, setibanya di kantor BNN, Aipda AK langsung ditahan.

Wiwi menegaskan bahwa hingga saat ini tidak pernah ditunjukkan surat penangkapan maupun surat penahanan resmi dari BNNP Sulbar.

“Tidak ada satu pun surat resmi yang diberikan kepada saya sebagai keluarga,” tegasnya.

Ia juga mengungkap bahwa suaminya sempat diiming-imingi agar mengakui perbuatan tertentu dengan janji proses hukum akan dipercepat dan ia bisa segera pulang, namun hal tersebut tidak pernah terealisasi.

Selain dugaan penahanan ilegal, Wiwi Mentari juga mengungkap adanya permintaan sejumlah uang oleh pihak anggota BNNP Sulbar berinisial Aiptu AR yang mengaku dapat membantu melobi kasus tersebut. Wiwi mengaku telah menyerahkan uang Rp. 5 juta secara bertahap, bahkan diawal. Aipda AR sempat meminta Rp. 100 juta, yang kemudian diturunkan menjadi Rp. 75 juta.

Permintaan uang tersebut diduga berkaitan dengan janji perubahan pasal dan percepatan proses hukum.

Rangkaian tindakan tersebut diduga melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di antaranya:

Penangkapan tanpa surat perintah (Pasal 17 dan 18 KUHAP); Penahanan tanpa surat perintah penahanan (Pasal 21 KUHAP); Penggeledahan rumah tanpa izin pengadilan (Pasal 33 KUHAP); Penyidikan tidak profesional dan tidak menghormati HAM (Pasal 80 UU Narkotika).

Jika dugaan ini terbukti, aparat penegak hukum yang terlibat berpotensi dijerat Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kewenangan, serta Pasal 368 KUHP terkait dugaan pemerasan.

Selain sanksi pidana, aparat BNN juga dapat dikenai sanksi etik dan disiplin berdasarkan kode etik pegawai BNN, hingga pemberhentian tidak dengan hormat.

Pihak keluarga dan Tim Kuasa Hukum menyatakan akan menempuh langkah hukum, termasuk melaporkan kasus ini ke BNN RI, Propam, Komnas HAM, dan Ombudsman RI.

Redaksi membuka ruang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang merasa keberatan atau berkepentingan dalam pemberitaan ini untuk menggunakan hak jawab, hak koreksi, dan klarifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik