Air Mata yang Bercerita: Ketika Ruang Praktik Menjadi Ruang Kemanusiaan

Oleh; dr. Dewi Setiawati

MAKASSAR, MATASULSEL.ID – Setiap ruang praktik memiliki rahasianya sendiri. Di balik meja putih yang rapi, stetoskop yang menggantung di leher, dan senyum profesional seorang dokter, tersimpan ribuan kisah yang tak pernah tercatat dalam resep obat maupun hasil laboratorium.

Kisah-kisah itu hadir dalam bentuk lirih—kadang berupa helaan napas panjang, kadang jatuh sebagai air mata yang tak sempat diseka.

Dari ruang inilah Air Mata yang Bercerita bermula.

Novel ini mengajak pembaca masuk ke dunia yang jarang disorot: fragmen kehidupan para pasien yang datang bukan hanya dengan tubuh lemah, tetapi juga hati yang rapuh.

Mereka membawa beban yang sering kali lebih berat dari diagnosis—stigma sosial, tekanan keluarga, rahasia masa lalu, dan doa-doa yang diam-diam dibisikkan di sela rasa sakit.

Lewat sudut pandang seorang dokter perempuan, dr. Dewi, pembaca diajak menyelami relasi yang lebih dalam antara dokter dan pasien.

Di hadapan dr. Dewi, para pasien bukan sekadar nomor antrean atau berkas medis. Mereka adalah manusia seutuhnya—dengan ketakutan, harapan, dan luka yang tak selalu terlihat oleh mata.

Setiap kisah dalam novel ini bukan semata tentang penyakit. Ia bercerita tentang ketabahan seorang ibu yang menyembunyikan diagnosis demi anaknya, tentang pengkhianatan yang melemahkan jiwa lebih cepat dari virus, tentang cinta yang bertahan di tengah keterbatasan, juga tentang kehilangan yang mengubah arah hidup seseorang selamanya.

Di sana, penyakit hanyalah satu bagian kecil dari pergulatan manusia.

Narasi Air Mata yang Bercerita mengalir lembut dan penuh empati. Fakta-fakta medis dirangkai dengan sentuhan sastra yang halus, menjadikan setiap halaman terasa intim dan mengendap di benak pembaca. Tidak ada penghakiman, hanya pemahaman. Tidak ada jarak, hanya kedekatan emosional.

Novel ini juga menjadi pengingat bahwa pertemuan antara dokter dan pasien bukan sekadar prosedur medis. Ia adalah perjumpaan dua jiwa yang sama-sama rapuh.

Seorang pasien yang berharap untuk sembuh, dan seorang dokter yang, di balik ketegaran profesionalnya, turut memikul beban batin dari setiap keputusan dan kehilangan yang ia saksikan.

Terdiri dari 42 tema dalam daftar isinya, buku setebal ratusan halaman ini menghadirkan kisah-kisah yang berdiri sendiri, namun saling terhubung oleh benang kemanusiaan yang kuat.

Dari awal kehidupan hingga senja terakhirnya, pembaca diajak memahami bahwa setiap fase manusia selalu diwarnai perjuangan—dan bahwa kehadiran seseorang yang tulus mendampingi, sekecil apa pun, bisa menjadi cahaya di tengah gelap.

Sosok dr. Dewi hadir sebagai figur dokter yang setia membersamai pasiennya, bekerja dengan ilmu sekaligus keikhlasan. Ia tidak selalu mampu menyembuhkan, tetapi ia selalu berusaha memahami.

Dan dalam dunia yang sering terburu-buru menuntut kesembuhan, pemahaman itulah yang menjadi obat paling sunyi namun paling berarti.

Air Mata yang Bercerita bukan sekadar novel medis. Ia adalah ruang renungan. Sebuah pengingat bahwa setiap air mata punya cerita, setiap luka punya bahasa, dan setiap manusia—sehat atau sakit—layak diperlakukan dengan empati.

Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang bertahan, tetapi tentang dimengerti.