Diduga Guru Besar UNM Caplok Tanah Warga Kampung Mapala

MAKASSAR – Sattu Daeng Pole, warga Kampung Mapala Blok Sembilan, Kota Makassar, kini hanya bisa mempertahankan sisa lahannya seluas 98 meter persegi dari total 6.700 meter persegi tanah warisan keluarganya yang kini telah dikuasai pihak lain. Ironisnya, lahan tersebut kini telah bersertifikat atas nama orang lain,

Lahan itu terletak di wilayah yang saat ini termasuk Kelurahan Tidung, Kecamatan Rappocini, yang sebelumnya masih masuk wilayah Kelurahan Rappocini, Kecamatan Tamalate.

Menurut penuturan Sattu Daeng Pole, tanah tersebut merupakan peninggalan orang tuanya sejak tahun 1959 dan tidak pernah dijual kepada siapa pun. Ia mengaku lahan itu memang pernah digadaikan kepada seorang bernama Daeng Patui pada tahun 1961, namun gadai tersebut sudah ditebus kembali pada 1963 sehingga kepemilikan kembali ke tangan keluarga.

“Tanah itu milik orang tua saya sejak tahun 1959, dulu sempat digadai, tapi sudah kami tebus. Jadi kembali milik ahliwaris, selanjutnya ahliwaris tidak pernah menjual,” ujar Sattu Daeng Pole, selasa(29/10/2025).

Setelah penebusan gadai, keluarga Sattu kembali menguasai lahan tersebut. Namun, pada tahun 1997, sebagian besar lahan sudah di tersertipikatkan berdasarkan pengakuan dari pihak lain yang mengatakan bahwa kami sudah beli dari Herry Subagio asal Dg.Patui seluas. 3300 M.

“Sattu Dg.Pole baru mengetahui bahwa tanah itu telah bersertifikat atas nama orang lain pada tahun 2024, kami telah menguasai kembali Luas 98 M setelah adanya mediasi di kantor Lurah Tidung,” ujarnya.

Tambah Sattu pernah Firdaus Daud memperlihatkan fotokopi sertifikat. No. 123′ maka Saya tanyakan mana aslinya dan atas nama siapa ahli warisnya, tapi dia diam.

Kuasa pengurus Sattu, Supriadi, mengungkap bahwa mediasi terakhir dilakukan pada 16 Agustus 2024. Dalam pertemuan tersebut, pihak yang menguasai lahan, Ahli waris mengaku membeli tanah dari seseorang bernama Rosmini, namun ditemukan kejanggalan pada dokumen kepemilikan.

“Dari hasil penelusuran kami, akta jual beli antara Firdaus dan Rosmini hanya seluas 437 meter persegi, tapi di sertifikat tertulis 510 meter persegi. Kami sudah tanyakan langsung ke Prof Firdaus, tapi belum ada kejelasan mengenai kelebihan luas itu,” kata Supriadi.

Merasa dirugikan, Sattu kemudian melayangkan surat resmi kepada Lurah Tidung dengan perihal klarifikasi kepemilikan tanah. Dalam surat bertanggal 29 Oktober 2025 itu, ia memaparkan kronologi serta menyampaikan keberatan atas perubahan status kepemilikan tanah keluarga.

Ia juga meminta pemerintah kelurahan dan instansi terkait, termasuk BPN, untuk menelusuri riwayat kepemilikan tanah agar tidak terjadi tumpang tindih hak dan memastikan kepastian hukum bagi keluarganya.

“Kami mohon bantuan pihak kelurahan dan BPN untuk menelusuri riwayat tanah tersebut agar hak keluarga kami tidak hilang begitu saja,” tulis Sattu dalam suratnya.

Hingga kini, pihak keluarga masih menguasai sisa lahan 98 meter persegi dan berencana untuk mengurus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pembuatan sertifikat resmi atas nama keluarga.

“Kami tetap akan mempertahankan lahan itu dan mengurus administrasi untuk pembuatan sertifikat,” tegas Supriadi.

Sattu Daeng Pole berharap, persoalan ini mendapat perhatian dari pemerintah dan aparat terkait agar keadilan serta kepastian hukum bagi masyarakat kecil benar-benar ditegakkan.

Saat dimintai klarifikasinya Prof. DR. Firdaus Daud tidak memberikan respon terkait hal ini.

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button